Minggu, 13 Mei 2012

Mengenang Kota Hilang

ILUSTRASI
Maka lumpur pun datang membasuh wajah kota itu. (Hasan Aspahani, 2006)
Cerpen oleh R Giryadi 
Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan kami.
Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.
Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya.
Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dalam kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara belaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur tetapi dalam timbunan retorika.
Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati.
Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok pintar.
”Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!”
Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini hilang. Kini yang tertinggal hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada yang tersisa, selain kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya menyumbul di antara hamparan lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang meranggas. Tak ada yang tersisa.
”Kini semuanya telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!”
Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut!
Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan jumpai pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu hingga putus. Jebakan demi jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang berniat baik bisa berbalik menjadi perampok yang ganas. Di setiap tikungan, kau harus waspada, karena di situ banyak pengemis bersenjata tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi uang barang satu perak pun.
Bila kau lolos di jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kau akan menemukan jalan yang bercabang-cabang, mirip labirin. Kau harus pandai memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.
”Kau tahu, jalan yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!”
Karena itu, ketika kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan dirimu menjadi pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, seperti yang kau tulis, ”Maka lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang,” tidaklah salah.
Untuk mencari rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani. Kau harus menjadi manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja yang mampu terbang dan menembus perut bumi. Tetapi kau bisa juga menjadi Sangkuni yang pandai bersilat lidah dan tipu muslihat.
Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya leluconmu. Kau akan dikerumuni anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka anak-anak yang tak lagi mengenal masa depannya. Hanya dengan leluconlah kau bakal hidup panjang.
Meski begitu, kau jangan berharap telah sampai ke kotaku. Mungkin kau masih menempuh separuh jalan. Atau barangkali kau masih jalan di tempat. Tak ada yang tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga sampai ke kotaku.
Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu.
Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk mati.
”Apakah kau siap, kawan?!”
Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah, karena di setiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu, orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur, karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin daripada hidup dalam kubangan lumpur.
”Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!”
Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yang silau oleh kepalsuan yang berlapis kebenaran.
Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para monster.
Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan gamblang: ”Semula ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam insang di leher dan sejak itu menjadi bisu....”
Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau menjadi monster di daratan?
Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami seperti hidup dalam pekat gelap.
Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita itu, belalainya begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya.
Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul dalam bayang-bayang masa lalunya yang kelam, berkata, ”Hisaplah nak, demi hidupmu?”
Kamu tahu, kau tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, ”Lalu sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.”
Apakah kau masih ingin ke kotaku? Lewat suara hatiku ini, kusarankan, lebih baik urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan nama bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”, lebih baik kau jangan percaya dengan bahasa terang itu. Itu bahasa jebakan untuk mengais simpati. Bila kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalam kekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Kalaupun kini banyak orang melihat dan mencari-cari sisa kota kami, mereka tidak tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang dalam lautan lepas.
Kau tahu, mereka yang mencari sisa-sisa kota kami berdiri di atas bukit yang membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yang membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu mencoba mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada yang tahu. Kami benar-benar jauh dalam genggaman ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dan kau sangat tahu, dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap samar-samar, kau menulis: ”Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian dari tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam....”
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!
”Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!”
Tak perlulah kau ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada suatu saat nanti kotaku akan kau temukan dalam pesta pora para monster menyambut kemenangan dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dalam mesin hitung, kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam waktu dan pada suatu saatnya nanti, kota kami digali dari kuburnya. Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera berkibaran dalam pesta dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku akan ditemukan dengan nama yang ditulis dengan huruf Palawa: Kahuripan.
”Apakah kau tahu arti Kahuripan?”
Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk tidak kompromi. Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dalam kenangan yang mengekal dan banal.
Pesanku, kalaupun pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatimu di bait terakhir: ”Dulu di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya”.
Itulah semulia-mulianya kenangan.
Sidoarjo, 2011
Catatan:
1. Cerita ini terinspirasi dari puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
2. Semua kutipan berasal dari bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.

Jumat, 11 Mei 2012

B e r k i s a h
 
Cerpen Fredy Wansyah
“Masuk. Tumben pagi-pagi gini kemari,” kata Naya kaget di depan pintu kamar kosnya.
“Ada perlu, Nay,” sahutku.
“Perlu apa? Pinjem duit?”
“Bukan,” kataku kepada Naya sambil duduk ke atas kasurnya.
Kuceritakan semua kejadian semalam. Aku dan Naya duduk di atas kasur seperti orang naik perahu yang menjaga keseimbangan, dan Naya sesekali menaikturunkan alis matanya. Seakan dia paham tentang semua yang aku ceritakan. Mungkin juga dia benar-benar paham, sebab aku kenal lelaki itu dari Naya. Ya, seminggu yang lalu di sebuah cafe, Naya datangi aku lalu menunjukkan seorang lelaki yang ingin tidur. Seorang lelaki yang gigih dan gagah. Lelaki yang berprofesi sebagai pebisnis. Waktu itu, Naya tidak langsung mempertemukan kami. Baru semalamlah kami bertemu. Lalu tidur.
“Tadi dia juga ke sini. Dia minta nomor rekeningku. Lalu dia juga titip sesuatu untukmu,” kata Naya sambil bergerak ke lemarinya, seperti ingin mengambil sesuatu.
“Cuma itu, Nay? Dia titip apa?” tanyaku penasaran.
“Sebentar,” Naya membuka lemari kecilnya, satu-satunya teman kasur di ruangan kecil yang dikontraknya.
Naya menunjukkan dua lembar kertas. Satu lembar foto. Satu lembar lagi tulisan kecil. Tulisan itu berisi pesan dan nomor henfon.
//
Lampu-lampu kendaraan di jalanan mulai nyala. Lampu-lampu tepi jalan dengan gagahnya pun ikut menyala. Sore hilang, gelap terang datang.
Seadanya perawatan wajah. Di depan cermin aku bertaruh hidup, sebab hanya cermin yang polos di dunia ini, sampai ia berkata apa adanya tentang keburukan wajahku. Cermin itu menunjukkan luka, ceria, sedih, kerut, muda, dan tua di wajah. Dengan jujur. Perlahan wajahku mencermati cermin. Seakan ia sedang berkata, di belakang punggungku ada bayi gadis tertidur pulas.
Rias wajahku selesai. Kutinggalkan bayi gadis itu tidur sendiri di kamar yang cukup kecil. Kutitip jaga ke kamar sebelah. Seperti biasa, bila  ia menangis, tetangga sebelah akan datang menjaganya sampai bayi gadisku tidur kembali.
Sepertinya malam ini banyak rezeki, keluhku dalam hati. Sekeluarnya aku dari gang, banyak berdiri mobil-mobil gagah. Berplat “B”. Orang-orang Ibu Kota berdatangan. Katanya mereka ingin berbelanja dan berlibur di kota ini. Aku juga tak tahu, mengapa di kota ini dibilang kota belanja. Padahal di sini cuma kawasan kumuh dari kota yang disebut Kota Kembang. Di sela-sela Kota Kembang itulah Saritem ini berdiri kumuh. Oh, aku ingat, ternyata hari ini tanggal merah, wajar bila mobil-mobil gagah itu berdiri serupa angkatan bersenjata yang siap tempur.
“Woi, mau ke mana?” seorang berteriak samar-samar dari seberang jalan raya yang riuh.
Kulihat arah arah. Dia teman seperjuanganku. Kujawab pertanyaannya dengan menunjuk ke arah tujuanku.
“Ngapain ke sana? Gak kerja?” sambutnya.
Kujawab pula dengan lambaian tangan. Apalah arti bekerja tanpa cinta. Aku jenuh,  bekerja tanpa cinta. Serupa sendok di dalam gelas air putih. Seakan tiada guna, pikirku. Ah, itulah pilihan malam ini, cinta.
//
Aku dan dia tertawa. Di atas meja kami masih tersisa sedikit bir. Ada empat meja di ruangan ini. Semua terisi. Hanya di meja kami yang banyak berdiri bir.
Sayup-sayup kupandang wajahnya. Perlahan-lahan semakin dekat. Kudekati tubuhnya. Semakin dekat tubuh kami. Ah, ternyata tubuhnyalah yang mendekati tubuhku. Bangsat, hampir aku mabuk cuma karena bir!
Malam parti selesai. Bukan parti besar. Cuma parti kecil. Aku berjalan perahu ke lorong gang yang dijajari kamar-kamar. Dan, kamar-kamar itu bermesin mengantarkan aku dan dia ke kamar yang kami pesan berdua di awal.
Kamar ini kecil. Kecil sekali. Sampai-sampai kamar ini mendorong tubuh lelaki yang di depanku semakin terdorong. Terdorong mendekat ingin mendekap. Terus, dan terus dinding mendorong tubuhnya ke tubuhku. Semakin kecil. Semakin gelap. Semakin sayup. Dan, ah...
Kulihati ia berjalan kecil. Membersihkan tubuhnya. Merapikan entah apa yang melekat di tubuhnya. Kukuliti tubuh itu.
“Makan nasi uduk itu. Tadi aku beli dari depan gang sana.”
“Terus?” kataku tegas.
“Aku mau pergi. Dua jam lagi aku ada perlu.”
“Terus?”
“Semuanya udah aku transfer.”
“Apanya? Transfer apa?”
“Ke teman kamu”
Dia pergi. Kukuliti langkah kepergiannya. Melangkah ke luar kamar.
//
Lama. Ke mana dia? Ah, mungkin dia telat. Aku tunggu saja. Ini kan wiken. Seperti biasa, bukan rahasia lagi, kalau di kota ini wiken selalu macet.
Sejam. Dua jam. Ke mana dia? Aku tak tahu, ah. Yang kutahu, aku harus tunggu. Biar berapa puluh batang rokok ini habis aku akan tetap tunggu. Pasti.
Itu dia, pikirku, melihat lelaki yang dari kejauhan mendekat ke tubuhku. Ah, mungkinkah dia? Tidak. Bukan dia, keluhku saat melihat lelaki itu semakin dekat.
Aku sudah tidak sabar menunggu kedatangannya. Mungkin, kali ini dia akan membawakan sesuatu yang berbeda dari yang biasanya. Dia akan membawakan aku hadiah, makanan, atau apalah itu yang mungkin berbeda.
Seperti suatu malam yang kukenang itu ketika dia membawa makanan, dia memberikannya langsung ke mulutku. Getar bibir. Getar segala tubuhku dibuatnya. Aku habis tenaga karena getaran itu. Seperti mayat, aku beri tubuhku seisi-isinya. Tidak seperti biasanya kepada lelaki yang menyewa tubuhku.
Mana ada di dunia ini lelaki yang mau menyulangi makanan ke depan bibirku, kecuali dia. Kata orang-orang, lelaki yang paling sayang sama kita ialah ayah. Tapi tidak untukku. Ayah tidak pernah memberikan sesulang makanan pun untukku. Ah, benci aku dengan lelaki itu, yang sering memukuli ibuku.
Sudah habis sebungkus rokok. Sisa-sisanya tumpang tindih. Untunglah warung rokok dekat-dekat dari sini belum tutup. Padahal sudah menjelang subuh.
“Mang, rokok putih biasa sebungkus,” ujarku ke pedagang rokok.
Sudah kayak apa aku ini. Beli rokok, datang lagi ke tempat tadi. Menunggu lagi. Sungguh, aku tidak mau pikir apa-apa. Aku hanya tidak sabar menunggumu, sayang.
“Gak pulang?” tanya seorang teman yang melintas begitu saja.
//
Kenapa dia pergi begitu saja? Ah, entahlah. Aku mau cuci muka saja langsung sarapan nasi kuning. Aku tidak mengerti, kenapa air begitu dingin mengalir ke kulitku. Apa mungkin karena semalam? Mungkin air itu seperti dia.
Segera. Ya, dengan segera aku harus habisi nasi ini. Aku mau pergi ke kontrakan Ratna. Katanya dia sudah transfer.
Oh ya. Aku sekarang tahu. Dia pasti sudah transfer uang ke Naya. Semoga saja dia kasih uang yang cukup.
Aku ingin membeli banyak barang, kalau dia beri banyak. Toh aku sudah banyak kasih waktu. Dengan cinta. Kata orang, cinta itu mengorbankan waktu. Semalaman dengannya. Mudah-mudahan aku tidak dihargai dengan harga murah.
//
Di balik tong sampah ini aku bersumpah. Sampai lebih dari waktu subuh pun. Aku tunggu janjimu. Aku cuma ingin bertemu denganmu malam ini. Mungkin malam ini, entah malam seperti apa, ketika nanti kita bertemu.
Kamu beri janji. Kita akan menikah. Kamu bilang, dunia malamku tidak baik bagi anakku yang masih berumur setahun. Kamu juga bilang, kehidupanku seperti ini sama saja seperti bunuh diri perlahan-lahan. Mati di mata orang-orang, tapi tidak mati raga. Itulah arti pelacuran yang kau ajari kepadaku.
Bukan lagi janji, bukan lagi uang, bukan lagi waktu. Aku cuma butuh cinta. Aku rasa, aku cuma seperti lalat atau kucing atau anjing yang saban hari mencari makan dan kawin. Aku kawin untuk cari makan. Kulitku ingin kulit yang dicintai.
Sejak kamu ucap janji, kamu ucap kasih, kamu lukis kasih di kulitku, aku rasakan perlahan keinginan kulitku. Kamu lembut. Kamu hati-hati sekali. Seakan kamu pandang diriku selayaknya kaca yang tidak ingin tergores.
Waktu sudah setengah empat lewat. Sebentar lagi azan. Kamu di mana? Apa kamu tidak rindu kepada anakmu?
Waktu terus jalan. Sudah hampir habis rokok sebungkus yang tadi kubeli. Kalau begitu, lebih baik aku pulang. Maaf aku harus pulang. Aku tidak bisa tunggu kamu di sini sampai kita bertemu. Aku tidak salahkan dirimu. Sejak awal bertemu, sejak kamu titip pesan dan berani titipberi fotomu, sejak setahun yang lalu, aku tidak pernah berpikir untuk menyalahkan dirimu. Kali ini yang aku salahkan, mengapa harus ada perkawinan? Mengapa aku bangga saat kamu menjanjikan perkawinan? Sangat bangga, apalagi ketika kamu berikan janji, malam ini kita seharusnya merencanakan waktu dan persiapan lainnya untuk pernikahan kita.
//
“Ibu, ini kekasihku. Mungkin selama ini aku takut beritahu kepadamu, Bu. Sekarang, ini kutunjukkan fotonya, Bu.”
Mirip. Ah, mungkin hanya mirip.
“Dia janji, tahun depan akan menikahi aku, Bu.”
Kuinjak kuat-kuat lantai. Kugenggam kuat-kuat fotonya. Kulangkahkan kaki ke depan ambang jendela. Kucampakkan foto di tanganku, sekuat-kuatnya. Berharap esok foto itu ada di tong sampah!
“Nak, duduklah sebentar.  Ibu mau cerita kisah tentang foto dan tentang janji pernikahan Ibu sembilan belas tahun yang lalu, sampai Ibu harus mengurusmu sendiri seperti ini,” kataku.

Rabu, 09 Mei 2012

Rumah Burung
 
ILUSTRASI
Dunia gelap sekejap. Apa jadinya rumah burung itu? Rusakkah? Hancurkah? Kemana dua burung penghuninya?
: keponakan-keponakanku, Aisyah dan Titi
“Rumah burung di mana, Pak?”
“Di suatu tempat, Nin.”
“Jauhkah?”
“Entahlah.”
“Ninin ingin diantarkan ke rumah burung, Pak. Ninin ingin main sama burung.”
“Suatu saat nanti, Nin. Suatu saat nanti.”
Tanganku lalu digenggamnya. Kedua bola matanya yang bulat penuh dan sehitam biji kelengkeng menatapku dengan binar sebuah bintang di galaksi terjauh yang tak bisa kudeskripsikan lebih lagi keindahannya. Gerakan kedua alisnya yang melengkung dan saling bertemu menegaskan padaku bahwa janji yang kuucapkan telah dipahatnya menembus kulit kepala mencapai otaknya, suatu waktu nanti harap akan ditepati.
“Ninin ingin pergi sekarang,” katanya kemudian dengan penekanan. Tapi ketika seekor srigunting hinggap lagi pada batang terendah pohon jambu, dia pun lupa dengan tuntutannya dan dengan jeritan khas anak-anak memburu burung yang lincah itu. Baru dua langkah dijajaginya, burung itu telah ketakutan, kabur terbang kembali. Terdengar desah kecewanya. Aku tersenyum.
“Marilah,” ajakku. Anakku itu hanya berdiri memandang pepohonan dengan burung-burung pagi yang berloncatan dari dahan ke dahan. Kadang menggoyang reranting dan mengirim embun lepas dari dedaunan mencapai tanah, beberapa memercik pada hidung dan kelopak matanya, tapi dia masih tetap terpukau terpaku, tak terganggu. Kuusap wajahnya lalu menarik tangannya untuk pulang. Pagi yang kami nikmati memang telah berlalu dan burung-burung menjalani kodrat alamnya masing-masing. Begitu pun seharusnya kami.
“Ke rumah burung, Pak,” bisiknya berkali-kali ketika akhinya kugendong dia karena jalannya serasa setengah hati dengan kepalanya terus bergerak mencari gerakan-gerakan burung yang seperti bersepakat bermain-main di sekitar kami.
“Ya, Sayang,” jawabku di telinganya.
Saat itu juga terpikir olehku untuk menangkapi semua burung yang beterbangan lalu kuletakkan di kedua belah tangannya yang gempal agar dapatlah burung-burung itu ditanya tentang rumahnya. Pastilah wajah Ninin akan riah, lalu bayangan teriakan-teriakan girangnya seakan menari-nari di kepalaku. Aku akan sangat berbahagia menjadi seorang yang dapat memberikan segala yang dimauinya. Apapun. Walau hingga saat ini hanya kesederhanaanlah yang menempati keinginan terdalamnya, tapi sungguh, tak ada yang lebih membahagiakan buatku selain mengetahuinya bahagia.
*****
“Apa yang kau lakukan?”
“Membuat rumah burung.”
“Seperti apa rumah burung yang akan kau buat itu?”
“Entahlah.”
“Kau yakin dengan apa yang kau lakukan?”
“Yakin sekali, Bu. Yakin sekali.”
Dari ekor mataku, kulihat istriku menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa orang yang melihatku pun bertanya-tanya hal serupa.
“Kau mau beternak lebah?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Ini rumah burung.”
Aku sendiri menghabiskan beberapa jam untuk membuat sebuah kotak sederhana dari papan sekaligus membawa dan mengikatnya pada dahan tertinggi yang bisa kucapai dari pohon mangga di samping rumah, dekat pada kamar Ninin. Aku tahu, burung-burung kerap menggoyang kembang-kembang mangga hingga berjatuhan dan menunda buahnya. Maka, kupikir pohon mangga itulah tempat yang paling tepat untuk rumah burung itu. Sudah terbayang di mataku beberapa ekor burung – kuharapkan beberapa jenis – akan memasukinya dan aku bisa sekedar menggenggam beberapa di antara mereka lalu memberikannya kepada Ninin.
“Kenapa tak kau beli saja seekor burung dengan sangkarnya?” tanya istriku setelah tahu rumah burung yang kubuat sama sekali belum dihinggapi seekor burung pun. Aku tersenyum.
“Aku ingin memberi pengetahuan tentang kemurnian alam pada Ninin. Dia harus melihat segala sesuatu secara wajar sesuai dengan imajinasinya. Jika aku tiba-tiba memperlihatkan dan memberinya burung dalam sangkar, bukankah dia tidak melihat proses yang terjadi, bagaimana burung itu dapat berada dalam sangkar? Lagipula dia sering bertanya padaku tentang rumah burung. Inilah rumah burung itu. Semua, burung apapun itu, kuharap datang dan masuk ke dalamnya.”
Kulihat mata istriku berkaca-kaca dan air matanya beberapa detik kemudian segera tumpah.
“Kenapa menangis?”
“Tentu saja karena haru.”
“Kenapa haru?”
“Aku ingin pula dapat mengerti anak itu seperti halnya kau.” Dia memelukku.
Itu sehari sebelum apa yang memang kuharapkan terjadi. Keesokan paginya, kulihat seekor burung mungil berbulu hitam dan berparuh kuning cerah bertengger di atasnya. Belum kulihat dia memasuki lubang yang kubuat di bagian depan, tapi itu sudah memberi girang rasa padaku. Tak sabar hatiku untuk memperlihatkannya pada Ninin. Dia belum tahu bahwa aku membuatkannya rumah burung justru tepat di luar kamarnya. Aku ingin di saat dia membuka jendela kamar itu di pagi hari, kelak dapat langsung dipandanginya rumah burung itu.
Tiap pagi selepas mengajak Ninin berjalan-jalan dan tentu saja masih mendengar ocehan-ocehannya tentang rumah burung, aku akan langsung mengamati kotak di atas pohon mangga itu. Memang tidak banyak burung yang berani untuk mendekat, tapi burung yang kulihat sejak awal hanya bertengger di atasnya justru kini telah berani memasukinya. Mungkin terpikat biji-biji jagung dan remah-remah roti yang kutebarkan di dalamnya, mungkin pula tertarik dengan gerombolan semut yang memang kadang kulihat merubung remah-remah saat aku memeriksa dan membersihkan rumah burung itu. Yang jelas, burung mungil berparuh kuning itu selalu berada di sana dan telah mengundang pula seekor dari jenis yang sama, mungkin pasangan hidupnya. Mereka, dua ekor burung itu, terlihat sangat nyaman bermain-main di dalamnya.
“Berapa yang sudah singgah hari ini, Pak?” bisik istriku. Sering dia turut denganku mengamati rumah burung itu.
“Dua. Mereka berpasangan. Ini satu pertanda baik. Jika mereka bisa menyarangkan telur di sana, bayangkan saja olehmu, Ninin akan bertetangga dengan sebuah keluarga burung.”
“Burung apa itu?”
“Entahlah.”
Istriku tersenyum lebar. Sepertinya sama denganku, dia telah membayangkan Ninin akan sangat senang. Teringat kembali pertanyaannya tentang rumah burung, kini dengan kepala tegak aku bisa menunjukkan kepadanya seperti apa rumah burung itu. Adakah yang lebih membahagiakan dari keinginan buah hati yang terpenuhi?
*****
“Di mana rumah burung, Pak?”
“Di samping kamarmu sendiri, Ninin.”
“Ninin bisa lihat?”
‘Tentu saja.”
“Kapan Ninin di antar kesana, Pak?”
“Sekarang, Nin. Sekarang juga.”
Kuperlihatkanlah padanya rumah burung yang selama ini memang kusembunyikan sementara darinya. Dengan adanya dua ekor burung yang memang sudah menjadi penghuni tetapnya, aku merasa percaya diri. Memang lucu saat mulut anakku itu terbuka lebar menganga dan kelopak matanya bekerjap-kerjap gembira segera setelah melihat rumah burung itu, tapi saat dia mulai akan berteriak-teriak, aku mencegahnya.
“Sshh...kalau kau berteriak dan membuat keributan, burung-burung penghuninya akan kabur. Siapa pula yang suka dengan tetangga ribut? Mereka tidak akan betah nantinya.” Ninin mengangguk-angguk dan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Lalu dengan gerakan komikal yang berlebihan dia mengendap-endap mendekat ke pokok pohon.
Tidak ada kelompok burung apapun hari ini. Aneh. Dua ekor burung penghuni rumah burung itu pun tidak terlihat.
Perasaan tidak nyaman muncul di hatiku. Apalagi Ninin mulai terlihat jenuh dan bertanya-tanya kenapa tidak dilihatnya seekor burungpun, walau kepalanya terus mendongak hingga aku khawatir lehernya akan menjadi lelah.
Kuputuskan untuk memanjat. Mungkin ada hewan lain yang menempatinya atau dasarnya telah menjadi kotor dan mereka jadi enggan mendekat sama sekali. Rumah burung itu memang sepertinya kosong, tidak ada tanda kedua burung itu di sana. Saat kemudian aku coba mengintip lewat lubang di bagian depan, beberapa sisa remah roti yang kemarin masih terlihat, begitupun biji-biji jagung, tapi ada sesuatu yang lain...seekor ular hijau!
Panas hatiku. Pasti ular itu yang telah membuat burung-burung pergi. Sia-sia pekerjaanku selama ini, justru di saat pertama aku akan memperlihatkannya kepada Ninin. Dalam kemarahan, aku mematahkan sebatang ranting kecil dan langsung memukul-mukulkannya ke bagian atas rumah burung itu. Dalam hati kumaki-maki ular sialan itu dan berharap kepalanya segera akan keluar dengan keributan yang kubuat lalu segera kupukul sekuat tenaga. Memang benar, kepala ular itu akhirnya keluar, tapi justru beberapa detik kemudian keseluruhan tubuhnya langsung mencelat melewati antara lengan dan perutku, lolos seperti ikan yang meliuk di antara jaring. Kaget karena lenganku memang sedikit kubuka untuk berkelit, keseimbanganku hilang, pegangan tanganku terlepas dan justru tak sengaja menyambar rumah burung itu di saat pijakan kakiku pun ikut terlepas.
Aku jatuh. Rumah burung itu jatuh.
Dunia gelap sekejap. Apa jadinya rumah burung itu? Rusakkah? Hancurkah? Kemana dua burung penghuninya? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti memaksaku untuk secepatnya membuka mata walaupun nyeri di sekujur tubuhku. Syukurlah, pada saat akhirnya mataku terbuka, kulihat rumah burung itu sudah ada di pelukan Ninin. Tidak rusak. Utuh walau jatuh.
“Rumah burung, Pak.”
“Ya, rumah burung,” sahutku sambil mencoba bangkit. Terasa jantungku diremas kecewa karena rumah burung itu telah kosong. Mudah-mudahan dia mau mengerti.
“Terima kasih. Ini rumah burung. Lihat, Pak,” katanya lagi menyodorkan kotak itu ke depan. Seperti sebuah keajaiban, dua ekor burung berbulu hitam dengan paruh kuning tiba-tiba saja hinggap di atasnya. Aku tersenyum, senyuman kebanggaan dan kebahagiaan. Ninin pun tersenyum, manis sekali. Apalagi saat itu sinar matahari pagi yang menerobos dedaunan menembak tepat pada wajah mongoloid-nya, wajah cantik yang akan terus menjatuhkan hatiku sampai kapanpun.

Minggu, 06 Mei 2012

Raja yang Bahagia
ILUSTRASI
Cerpen M. Nurcholis
Alangkah geramnya Raja Gustav mendengar berita tentang dibentuknya Perserikatan Kerajaan-kerajaan. Ini berarti, segala macam permasalahan yang terjadi di antara dua kerajaan atau lebih akan diselesaikan melalui majelis yang telah dibentuk tadi. Yang berarti pula, peperangan akan usai. Apalah arti kerajaan apabila tidak ada perang? Sungguh, hal tersebut sangat mengganggu hati Raja Gustav. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana nanti pasukannya yang kekar dan kuat-kuat itu menjadi pasukan yang loyo dan gemuk karena tenaga yang tidak digunakan dalam perang. Belum lagi senjata-senjata, meriam-meriam, ram-ram dan segala macam perlengkapan perang yang ia punyai nantinya lapuk dan berkarat karena teronggok begitu saja di gudang senjata. Sungguh, ini adalah kemunduran besar dalam karirnya sebagai raja.
Meskipun Raja Gustav tidak setuju dengan dibentuknya Perserikatan Kerajaan-kerajaan (PKK), ia tidak dapat membubarkannya. PKK telah disetujui oleh seluruh kerajaan, kecuali Kerajaan Mitraldur di bawah komando Raja Gustav tentunya. Barangkali, yang menjadi pertimbangan kerajaan lain adalah karena mereka sudah bosan diganggu perbatasan-perbatasan kerajaannya. Hal ini wajar, karena Mitraldur adalah kerajaan besar yang mempunyai pasukan perang maha dahsyat. Raja Gustav gemar melakukan ekspansi wilayah, melakukan pencarian sumber daya untuk menumpuk kekayaan kerajaannya. Maka tidak heran, seluruh kerajaan bersepakat membentuk PKK.
Raja Gustav  bisa saja melakukan perlawanan dengan menyerang PKK, namun dampaknya pasti akan sangat buruk. Sudah pasti ia akan diserang oleh seluruh kerajaan. Meskipun mempunyai pasukan hebat, melawan seluruh kerajaan yang ada tentu merupakan hal yang bodoh.
Akhirnya, tidak ada lagi kesenangan yang dapat memuaskan Raja Gustav. Petualangan dalam peperangan yang sangat ia sukai tidak lagi ada. Pembuktian siapa raja yang lebih kuat tidak dapat dilakukan di medan laga. Semuanya melalui perundingan. Dan  di perundingan, semua pihak mempunyai kedudukan yang sama. Ah, alangkah membosankannya!
***
Kerajaan Mitraldur bisa dibilang Kerajaan terbesar pada masa itu. Wilayahnya membentang luas meliputi Lembah Dormindur, Gurun Stasfur, Pegunungan Alestasia sampai dengan dataran rendah Megasin. Sungguh wilayah yang sangat luas. Namun, distribusi kekayaan di wilayah Mitraldur kurang merata. Daerah yang dekat dengan ibukota Mitraldur, Barayan, mempunyai kesejahteraan yang lebih memadai ketimbang daerah pinggiran, apalagi perbatasan. Sehingga kerap terjadi pemberontakan di daerah yang ingin melepaskan diri. Akan tetapi, dengan kekuatan militer yang kuat, semua pemberontakan itu dapat diredam. Keamanan di Mitraldur, bagi mereka yang patuh, sangat terjamin.
Maka boleh dikatakan, Mitraldur adalah kerajaan idaman bagi rakyat-rakyat di kerajaan kecil yang melarat.
Yang dicari oleh Raja Gustav sebenarnya adalah pembuktian diri, eksistensi diri. Ia menganggap, manusia hidup di dunia ini untuk berkompetisi, untuk mencari siapa manusia yang paling unggul. Oleh karena itulah manusia wajib berkompetisi yang dilukiskan dalam tiap peperangan. Raja tanpa perang, seperti macan yang hidup di kandang. Alangkah menyedihkan!
Setiap pagi, jika pelayannya datang mengantarkan sarapan, Raja Gustav akan bertanya,
“Hai, pelayan. Siapakah Raja di dunia ini yang paling kuat?”
“Tuan Raja, Yang Mulia.”
“Kalau Raja yang paling gagah di dunia ini?”
“Tuan Raja pula, Yang Mulia.”
“Benarkah?”
“Sumpah mati, benar demikian, Yang Mulia.”
Raja Gustav berseri-seri, meski ia tidak lagi berperang, setidaknya ia masih diakui kekuatan dan kegagahannya. Tapi, tak lama ia pun berfikir. Pelayan itu jelas menjawab yang baik-baik saja tentangku karena dia memang seorang pelayan yang akan mematuhi segala perintah raja dan sangat takut terhadap hukuman. Hal ini tidaklah objektif. Merasa tidak puas, Raja Gustav mengumpulkan seluruh hulubalang kerajaan untuk mengadakan pertemuan semacam rapat parlemen bersama para Gubernur daerah bagian, penasehat-penasehat kerajaan dan para ksatria pilihan. Ucapnya di suatu kesempatan pada pertemuan itu; “Wahai para pembesar kerajaan, siapakah Raja yang paling kuat di dunia ini?”
“Tuan Raja Gustav Yang Mulia!” gemuruh suara membahana pada gedung pertemuan kerajaan.
“Wahai para ksatria pilihan, siapakah raja yang paling gagah di dunia ini?”
“Tuan Raja Gustav Yang Mulia!!” kali ini, gemuruh di gedung pertemuan kerajaan sangat hebat sampai-sampai menggetarkan pilar-pilar penyangga gedung.
“Adakah yang mempunyai jawaban lain?”
Suasana diam.
“Adakah yang mempunyai jawaban lain?” Raja Gustav mengulangi pertanyaannya, namun hanya deru angin di pelataran yang menjawab.
Tentu saja hasil dari pertemuan hulubalang kerajaan membuat gembira Raja Gustav. Ternyata, ia masih diakui menjadi Raja Terkuat dan Tergagah di dunia ini. Ya, hanya dia satu-satunya. Namun, selang beberapa lama, ia kembali menyadari hal yang mengusik hatinya. Hulubalang kerajaan merupakan orang yang setia dan patuh padanya. Mereka pasti akan menjawab pertanyaan dengan jawaban yang akan menyenangkan hati Sang Raja. Raja Gustav menyadari itu. Bila mereka menjadi pihak di luar Kerajaan Mitraldur bisa jadi jawaban mereka akan berbeda. Raut kekecewaan terlukis di wajah Raja Gustav yang sudah ditumbuhi cambang dan kumis itu.
Bagaimana untuk membuktikan bahwa aku Raja yang Terkuat dan Terhebat? Raja Gustav dilanda perasaan gundah gulana. Sehari-harinya ia merenung, memperhatikan ikan-ikan yang lalu-lalang di kolam istananya. Sampai pada suatu saat, ia mendapatkan sebuah ide yang luar biasa. Ya, satu-satunya cara untuk kembali mendapatkan tantangan hidup!
Raja Gustav gembira, sebentar lagi ia akan mempunyai tantangan hidup. Ia harus segera merealisasikan idenya ini..
***
Raja Gustav mengumpulkan seluruh rakyatnya (sejauh yang dapat dikumpulkan) di alun-alun Kota Barayan. Alun-alun ini sangat luas, dengan ditumbuhi pepohonan trembesi di sekelilingnya. Raja Gustav bersiap di balkon istana, sebentar lagi ia akan membuat sebuah pengumuman—atau lebih tepatnya sayembara—tergila sepanjang Kerajaan Mitraldur berdiri. Alun-alun sudah padat oleh kerumunan manusia. Bila dilihat dari atas balkon, mereka nampak seperti semut-semut yang sedang berkerumun, menanti sesuatu yang manis dari raja mereka. Raja Gustav memulai bicaranya. Ia tidak memerlukan pengeras suara karena sekali berbicara suaranya membahana dipantulkan gema.
“Wahai rakyatku, terima kasih sudah menghadiri undanganku untuk pertemuan ini. Ada hal penting yang ingin kusampaikan..” Raja Gustav menghela nafas. Ia memang sering memberi semangat prajuritnya dalam perang dengan pidato yang menggebu, namun dalam acara seperti ini, ia terlihat kikuk.
“Rakyatku yang sejahtera—maaf, maksudku Rakyatku saja, dengarkanlah! Aku akan membuat sebuah sayembara!” alun-alun mendadak gaduh, suara riuh orang-orang terdengar seperti sekawanan lebah yang diusik.
“Dengarkan! Barang siapa yang dapat menunjukkan kekuranganku dalam memimpin kerajaan, akan aku beri hadiah. Ya, barang siapa yang dapat menunjukkan kekurangan dan kelemahanku dalam memimpin kerajaan, akan aku beri hadiah!” seluruh alun-alun berdengung, orang-orang tiba-tiba saja mencari teman untuk mengobrol. Raja Gustav kembali melanjutkan pidatonya.
“Dengarkan! Mulai besok, di pintu gerbang kerajaan akan aku sediakan kotak keluhan. Sampaikan kritik kalian tentangku melalui kotak itu, aku akan mengeceknya tiap hari. Barang siapa memberi kritik terbaik dan terbanyak, aku akan memberinya hadiah yang besar!”
Raja Gustav mengakhiri pidatonya. Ia merasa lega, sebentar lagi pasti banyak kritik yang masuk untuk dirinya. Ini berati, ia mempunyai kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Tentu, tentu lawannya adalah dirinya sendiri!
Benar saja, satu hari setelah sayembara itu dibuat, kotak keluhan sudah tidak lagi cukup untuk memuat kertas-kertas keluhan yang ditulis oleh rakyat. Raja Gustav meminta bantuan seluruh hulu balang untuk memilah-milahnya. Raja Gustav mengelompokkan keluhan-keluhan yang sejenis, lalu mencatat nama-nama yang memberi masukan paling banyak. Setelah melakukan penyortiran yang melelahkan, ia memperoleh sebuah hasil.
Hal pertama yang ia lakukan adalah mengembangkan daerah pinggiran, terutama di sekitar perbatasan. Rupanya selama ini mereka kurang perhatian. Raja Gustav membangun sarana dan prasarana di sana. Ia disambut baik dan dielu-elukan oleh rakyatnya. Tak lupa sejumlah sepuluh orang yang memberikan saran paling baik ia beri hadiah berupa sepetak tanah subur guna diolah. Raja Gustav semakin disanjung, ia benar-benar merasa bahagia sekarang.
Waktu demi waktu, permasalahan yang disampaikan oleh rakyatnya ia selesaikan dengan baik. Raja Gustav menganggap bahwa dirinya semakin bertambah baik dari masa ke masa. Perekonomian kerajaan menjadi kuat, perdagangan mereka menguasai hampir seluruh penjuru dunia. Tentu saja, kekuatan militer jangan sampai diabaikan. Kini Raja Gustav sudah membangun pusat pelatihan militer, supaya para prajurit dan ksatrianya dapat terus berlatih mengencangkan otot-otot mereka.
Jumlah kertas keluhan yang terdapat pada kotak semakin menyusut saja, tiap hari hanya satu dua keluhan yang masuk, itupun hal-hal yang boleh dikatakan remeh. Sampai pada suatu waktu, tidak ada satupun kertas keluhan yang masuk ke kerajaan. Raja Gustav merasa sangat puas. Kini rakyatnya sudah sejahtera semua. Tidak perlu lagi ia menanyakan siapa raja terhebat di dunia ini. Siapa raja terbijak di dunia ini, siapa raja terkuat di dunia ini. Karena setiap orang pasti setuju bahwa dia lah orangnya.
Raja Gustav kini dapat hidup dengan tenang. Musuh terberat yang harus dikalahkannya ternyata adalah dirinya sendiri. Ia merasa bahagia. Sangat bahagia.

Senin, 30 April 2012

Munajat Kaum Bola
 ILUSTRASI
Cerpen Ahmad Zaini
Kaum bola merayap. Mereka berjajar laksana semut yang antre memasuki lubang. Satu persatu para kaum bola duduk bersila dengan sebuah bola di pangkuannya.
Karpet merah mencolok mata terbentang di sebuah balai agung. Kontras warnanya memedihkan tatapan sampai terasa pedih. Air mata duka mengucur deras lalu mengalir memenuhi serat-serat karpet yang tergelar. Air mata kepedihan. Air mata kekecewaan. Air mata kedukaan atas bola-bola yang menggelinding tak tentu arah.
Langit redup masih bergelayut memayungi balai agung. Hamparan awan melindungi para lelaki, wanita, remaja dan anak-anak yang datang ke tempat pertemuan agung. Riuh rendah tangisnya menahan beban. Sedu sedan atas perjalanan bola tanah air yang tak kunjung menemukan lapangan hijau tempatnya bersemayam.
Haji Maimun berdiri di depan balai agung. Ia memberikan aba-aba kepada para kaum bola. Mereka yang datang atas undangan hati nurani, dipersilakan memasuki balai yang menganga sejak tadi. Lelaki setangah baya berjubah putih dengan jambang panjang besuara. Dentuman suaranya bak ledakan petasan di langit yang memayungi stadion saat bola dimainkan. Gendang telinga para kaum bola bergetar. Mereka pun mengikuti aba-aba yang dikumandangkan Haji Maimun yang berada di depan balai.
Kaum bola merayap. Mereka berjajar laksana semut yang antre memasuki lubang. Satu persatu para kaum bola duduk bersila dengan sebuah bola di pangkuannya. Mereka berdiam diri sambil menunggu aba-aba yang akan disampaikan oleh Haji Maimun.
Ratusan mulut berkomat-kamit dalam formasi lingkaran. Hembusan udara suara mereka mengepul memenuhi ruang balai pertemuan agung. Mereka mengungkapkan segala sesal dan keprihatinan tentang bola-bola di tanah air. Jiwa-jiwa bola seluruh nusantara menggema di balai dengan erangan pedih yang menyayat jiwa penggemarnya hingga mereka menggelepar, menggeliat karena hantaman jiwa bola yang masih merana.
“Tenangkan jiwa kalian! Tenangkan jiwa kalian!” seru Haji Maimun dengan suara berwibawa.
Jiwa para kaum bola bergemuruh. Hati mereka bergolak. Jiwa mereka terkena imbas peperangan yang mahadasyat yang terjadi di jagad bola. Mereka bisa menerawang jiwa-jiwa kotor para pengendali bola di negeri ini. Hati para kaum bola dapat menembus aneka macam keinginan di balik semarak bola di nusantara. Jiwa bola pengendali bola ternodai percikan-percikan nafsu untuk menguasai bola demi kepentingan pribadi dan golongan. Mereka mengabaikan kesucian hati dan jiwa para kaum bola di negeri gemah ripak loh jinawi ini.
“Persetan dengan kalian!” umpat salah satu kaum bola yang masih duduk melingkar dengan mulut yang berkomat-kamit tentang kekecewaan dan kekesalan kepada bola di negeri percikan surga ini.
“Tumpahkan semua rasa kesal! Tumpahkan rasa kecewa! Tumpahkan rasa ketidakpuasan kalian di balai ini! Tumpahkan!” kata Haji Maimun memandu jiwa-jiwa bola yang bergentayangan di balai agung.
Suara kaum bola menyatu. Suaranya bergemuruh di balai yang penuh onak dan murka. Rintih pedih dan kecewa menyatu hingga merontokkan bunga-bunga yang mekar di halaman balai pertemuan agung. Dinding-dinding balai juga bergetar menahan gemuruh suara kaum bola. Lampu hias yang menggantung di langit-langit balai bergoyang tak betah menahan suara-suara amarah para kaum bola.
“Cukup! Cukup!” pinta Haji Maimun.
Para kaum bola meredakan emosinya. Perlahan suara tinggi mereka menurun. Sesaat kemudian suasana balai pertemuan agung menjadi senyap. Sepi seperti balai yang tak berpenghuni.
Para kaum bola yang terdiri dari semua lapisan masyarakat dan dari jenjang usia yang berbeda tertunduk. Mereka bertafakkur mencari jalan penerang yang dapat menjadi solusi dari permasalahan yang membelenggu bola-bola di pangkuan mereka. Namun upaya mereka gagal setelah bola yang berada di pangkuannya bergetar. Bola-bola itu menggelinding sendiri. Bola-bola meronta lalu lepas dari pangkuannya. Mereka berbenturan, bertumbukan, bertebaran hingga memenuhi balai pertemuan agung.
Berbagai ukuran bola dengan aneka warna seperti merasakan kepedihan hati para juragannya. Hati para kaum bola teriris-iris oleh kekisruhan yang terjadi selama ini. Dua penggede dengan dana gede berseberangan. Mereka berebut ingin menguasai jagad bola negeri maritim. Mereka beradu kekuatan. Mereka beradu dukungan. Mereka beradu kekayaan. Ujung-ujungnya mereka malah memorakporandakan bola-bola di balai hingga terpental ke dataran yang lebih rendah. Sungguh sesuatu yang lebih hina dan hal yang hina.
“Para kaum bola, bersihkan hati kalian dengan meminta ampun kepada Tuhan!” suara Haji Maimun memandu para kaum bola.
“Getarkan hati kalian dengan keinginan-keinginan yang selama ini bersembunyi di lubuk hati kalian yang paling dalam!” imbuhnya.
Para kaum bola membeningkan hati agar mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Mereka memusatkan mata hatinya untuk mengais bola-bola yang berserak. Para kaum bola ingin menghimpun bola-bola yang hingga saat ini bergelindingan ke sana kemari sampai menjadi bola yang utuh.
“Bagaimana caranya?” getar hati salah satu kaum bola.
“Tetap optimis!” imbau Haji Maimun mendengar getar hati salah satu kaum bola.
Bola-bola kecil terus menggelinding menyusuri jalan masing-masing. Mereka melewati gang-gang kecil yang sulit dilewati. Sesekali kulit bundar membentur-benturkan kepalanya ke dinding stadion agar bisa masuk. Namun, kekokohan dinding stadion membuat mereka terpental dan kembali menjauh dari kemegahan stadion.
Sementara itu para kaum bola masih bermunajat memohon kepada Tuhan agar cepat mendapatkan petunjuk untuk mengumpulkan bola-bola tersebut. Mereka terus berkomat-kamit membaca doa agar perseteruan para penggede bola segera berakhir. Para kaum bola yang masih bermunajat di balai pertemuan agung mengharap agar mereka yang mengendalikan bola di seluruh nusantara bersatu. Dengan begitu, niscaya kekuatan akan semakin bertambah sehingga bisa mengendalikan bola-bola liar di negeri para wali ini.
Haji Maimun mengusap jenggot yang bergelayut di janggutnya. Peluh lelah merembet di beberapa helai jenggot diusapnya dengan tangan kekar. Ia mendesah sambil memikirkan cara yang tepat untuk menyatukan kekuatan bola yang terberai hingga saat ini. Ia tak habis pikir mengapa kedua kekuatan yang membuat bola-bola di tanah air menggelinding sendiri sulit untuk disatukan? Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka tidak mungkin bola negeri ini bisa bersaing dengan kekuatan negara-negara lain.
Degub jantung para kaum bola berkembang kempis. Kondisi mereka melemah. Haji Maimun akhirnya mengistirahatkan mereka. Para kaum bola berdiri kemudian keluar dari balai agung. Mereka menghirup udara di luar balai agung untuk memulihkan tenaga serta menyegarkan pikiran yang terkuras sejak tiga jam yang lalu. Air minum yang telah tersedia dalam sekejap lenyap. Demikian juga dengan makanan ringan yang dihidangkan dalam talam.
Mereka duduk-duduk di luar balai agung sambil melihat bunga taman yang berantakan karena dihantam bola-bola liar yang sampai kini belum mampu mereka himpun. Mereka menggeleng-gelengkan kepala karena tak percaya terhadap peristiwa yang terjadi. Bola yang semestinya jinak dan bisa mereka taklukkan ternyata menjadi seliar itu.
Hampir setengah jam mereka bersitirahat. Rasa kantuk dan lelah telah terkurangi. Tenaga kini telah pulih. Demikian juga halnya dengan pikiran mereka yang terasa lebih segar. Haji Maimun berdiri di ambang pintu balai agung dengan wajah yang penuh optimis. Wajahnya tuanya tak menampakkan kelelahan. Rautnya bersinar di bawah guyuran cahaya lampu yang tergantung di teras balai agung.
“Saudara-Saudara, mari kita masuk ke balai agung lagi!” ajak Haji Maimun.
Mereka segera bangkit dari duduknya kemudian berjalan berurutan masuk ke dalam balai agung yang berkarpet menyala merah. Hembusan dingin angin malam mulai  merasuk ke dalam balai agung. Tulang-tulang mereka terasa ngilu tertusuk lembut belai angin yang tiada henti. Kondisi mereka semacam itu segera sirna oleh kekuatan dan kemauan mereka dalam upaya menyatukan lagi bola-bola yang berserak.
Dengan formasi melingkar mereka memejamkan mata dengan arahan Haji Maimun. Mereka berzikir, memohon kepada Tuhan dengan melafalkan kalimat-kalimat suciNya. Para kaum bola menyatukan niat dan keinginan untuk disampaikan kepada Tuhan, yakni satukan lagi bola-bola liar di negeri ini agar menjadi utuh dan digdaya lagi seperti puluhan tahun silam.
Kalimat-kalimat suci menggema dari dalam balai agung. Suaranya menggoyangkan daun-daun bunga yang berantakan di depan balai agung. Perlahan gumpalan mendung yang menggantung di langit kelam tercabik-cabik oleh kalimat suci. Mendung pun sirna terseret angin ke belahan langit yang lain. Mahasuci Tuhan! Langit kini tampah cerah sekali. Biru warnanya dibingkai gelayut putih laksana kapas. Kerlipan jutaan bintang menghias malam yang tinggal seperempat lagi.
“Tuhan telah mengabulkan permohonan kita,” ucap optimis lelaki setengah baya yang masih duduk dengan mata terpejam di dalam hati.
Suara gemuruh datang dari luar balai. Suara itu semakin lama semakin keras terdengar. Bunga-bunga di taman yang berantakan berdiri tegak dan menata dirinya seperti semula. Bunga itu seperti memberikan penghormatan kepada sesuatu yang akan tiba di balai agung. Para kaum bola berusaha sepenuh hati untuk memusatkan perhatiannya kepada Sang Maha Pencipta. Mereka berupaya menjaga konsentrasinya agar tidak terpengaruh dengan suara gemuruh yang terjadi di luar.
Maha Suci Tuhan! Suara gemuruh itu ternyata suara ratusan bola yang menggelinding sendiri melintasi senyap malam menuju balai pertemuan agung. Bola-bola itu masuk satu persatu kemudian berhenti di tengah lingkaran para kaum bola yang masih lelap dalam doa. Bola-bola itu sejenak diam. Ia pasrah pada kehendak Tuhan yang telah mengabulkan doa para kaum bola. Bola-bola itu meleleh. Luluh menjadi satu bola yang utuh. Kulitnya mengkilap menerpa wajah-wajah para kaum bola yang masih bermunajat.
Para kaum bola masih berkomat-kamit. Mereka berkomunikasi dengan Tuhan tentang bola. Mereka mengadukan semua permasalahan bola yang terjadi di negeri ini. Mulai dari dualisme kepemimpinan, kesimpangsiuran status induk sepak bola, dua liga yang sama-sama mengatasnamakan PSSI, jadwal liga, kepemimpinan wasit yang sering tidak adil, pemain-pemain yang sering adu jotos, sampai suporter yang selalu membuat onar di dalam stadion.
Ketika para kaum bola mengadukan permasalahan tersebut, tiba-tiba bola besar yang duduk anggun di tengah-tengah para kaum bola bergerak. Lantai balai pertemuan agung terasa terguncang. Atapnya rontok. Pepohanan yang tumbuh di sekeliling balai meluruhkan daun-daunnya. Bola besar itu seperti terkejut dan tidak terima kalau keburukannya diadukan kepada Sang Mahakuasa.
“Tenanglah, Bola! Ini demi kebaikanmu dan kebaikan semuanya!” ucap Haji Maimun. Bola besar itu menurut. Sesaat kemudian ia tenang kembali.
Para kaum bola melakukan munajat bola ini memang murni untuk menjaga harga diri bangsa. Mereka sangat prihatin pada kondisi persepakbolaan negeri ini. Mereka ingin mengembalikan harkat dan martabat negeri yang mereka cintai ini dalam bidang sepak bola. Mereka ingin melihat tim nasional berlaga dalam even piala dunia. Mereka ingin timnas juara dunia seperti negara-negara lain di benua Eropa dan Amerika Selatan. Mereka ingin para pemain timnas membawa pulang tropi tersebut untuk  memuaskan para penghuni negeri ini. Hanya itu niat mereka melakukan munajat bola. Mereka tidak mempunyai keinginan sebagai penguasa seperti yang diperebutkan oleh begundal-begundal yang merusak reputasi sepak bola nasional sekarang ini.
Angin bertiup kencang. Udara terasa dingin. Malam sepertinya akan pamit pada fajar yang sudah mengintip di ujung cemara. Para kaum bola yang dipimpin Haji Maimun segera mengakhiri munajatnya. Mereka melakukan ritual penutup dengan melafalkan doa sapu jagat. Bersamaan dengan doa tersebut, ayam jantan para penduduk berkokok memecah keheningan ujung malam. Langit yang semula gelap kini memancarkan cahaya jingga.
Para kaum bola  mengarak bola besar berkeliling nusantara. Mereka memberi tahu kepada semua orang yang dijumpai bahwa bola-bola nusantara telah menyatu menjadi bola raksasa. Bola yang anggun, kokoh, wibawa. Bola murni tanpa ada kepentingan pribadi di dalamnya. Bola ini akan terus begerak ke kawasan Asia Tenggara, Asia hingga dunia. Ia akan melindas bola-bola yang ada di beberapa benua. Bola raksasa ini akan kembali ke nusantara dengan mengangkat tropi piala dunia.

Jumat, 27 April 2012

Akira San-San
 ILUSTRASI

Mencari suasana baru setelah 13 tahun tinggal di New York. Ia sudah bosan dengan cuaca kota New York yang berangin dan beku di musim dingin. Ia juga kini jenuh dengan hiruk pikuk dan bunyi klakson mobil terjebak kemacetan yang memekakkan telinga, juga ketergesaan para Newyorker yang ditemui di sepanjang jalan. Raut muka mereka penuh kecemasan, terburu-buru seolah bursa saham Wall Street mau merampas uangnya, panggung Broadway tak punya lagi tempat duduk tersisa, dan rumah-rumah mode telah kebanjiran pengantri fanatik demi rancangan terbaru musim semi untuk segera dikenakan entah di Time Square, Central Park, Carnegie Hall, atau di klub-klub eksekutif Manhattan.
Kala malam ketika orang-orang pulang kerja menggunakan kereta bawah tanah -- wajah-wajah mereka tampak kuyu, seolah jiwa-jiwa sekarat yang kehilangan cahaya hidupnya. Sungguh Hutan Beton itu mampu menyandera jiwa-jiwa mereka untuk dijadikan zombie demi memperpanjang mata rantai makanannya.
Nyoman sudah tak tahan lagi berdiri di belakang sushi bar. Apa yang pernah diajarkan Akira tentang keindahan memotong ikan, membuat Nigiri dan Sashimi, dan kemudian menatanya dengan indah dalam piring-piring keramik, semua itu merupakan sebuah hasrat sekaligus kesabaran diri. Kini semuanya tak berarti lagi. Suara printer yang berderit mengeluarkan tiket order didengar Nyoman sangat memekakkan telinga dan memicu rasa muaknya. Sebaliknya, suara sirine polisi, ambulan, dan pemadam kebakaran yang dulu dibenci, yang meraung-raung sepanjang hari di penjuru kota New York, kini didengar Nyoman seperti suara: Hawaii... Hawaii... Hawaii, sebuah panggilan gaib yang membujuknya tinggal di sana.
+++++
Alo-ha Ha-waii, suara merdu seorang gadis Polinesia menyambut kedatangan Nyoman sambil mengalungkan Lei, bunga tropis warna warni ke lehernya. Selamat Datang di Hawaii. Dan udara pantai segera tercium bercampur butiran lembut pasir memenuhi paru-parunya. Suasana damai segera terasakan dalam kehangatan pagi sambil menikmati matahari terbit di pinggir pantai, seperti kebiasaannya dulu waktu masih di Bali.
Di Kailua Nyoman menemukan kembali masa kecilnya, berbaring di pantai sambil memandang air laut yang berwarna biru cerah hingga menggradasi sampai putih jernih. Atau memandang dengan takjub pelangi raksasa yang sering muncul diantara gunung dan pantai, ia ingin mengejar pelangi itu dengan skuter air dan menerobos di bawahnya.
Waktu berjalan pelan di Kailua, seperti pemalas yang memicingkan mata lantas tertidur kembali karena terbuai angin sepoi-sepoi diantara pohon kelapa dan segelas pina colada. Hidup serasa di taman surga -- tak lagi dikejar-kejar waktu. Tak ada lagi bunyi printer yang berderit mengeluarkan tiket order sampai menumpuk di lantai, tak ada lagi pelanggan yang marah karena pesanannya tak segera datang, tak ada lagi tagihan apartemen, credit card,  tv kabel, atau telpon yang memusingkan kepala.
Waktunya kini dihabiskan untuk memancing, berenang, berselancar dan tidur-tiduran di pantai. Nyoman sekarang merasa seolah-olah menjadi Beach Boys, Anak Pantai yang enggan bersekolah karena semua keindahan hidup sudah tersaji di depan matanya, juga sensasi mendebarkan kala wanita Bule atau Jepang yang ditemuinya di pantai mengedipkan mata serta menawarkan permainan "budak dan tuannya", dan tak lama kemudian mereka sudah terlihat mesra berangkulan menyusuri tempat-tempat indah dan sakral di seantero Bali. Dan ketika malam menjelang, ia bisa menikmati kemolekan dan gairah tubuh tuannya. Sungguh itulah keindahan hidup yang diimpikan Anak Pantai.
Lantas keindahan hidup macam apa lagi yang akan dikejarnya?
Nyoman mulai bisa menandai Anak Pantai yang menyapa ramah dengan logat kental dan berat, "whas” up buddy", juga penduduk lokal yang sepertinya enggan bekerja dan hanya bermalas-malasan di tepi pantai. Sesekali mereka memulung kaleng-kaleng soda dari tempat sampah dan ditukar uang 5 sen sekaleng. Atau mencukupi hidup dengan merangkai bunga Kamboja dan daun Zaitun untuk kalung Lei.  Andai mereka kelaparan karena tak punya uang, mereka tak perlu merasa khawatir karena banyak buah pepaya, pisang atau umbi-umbian di taman umum atau tepi jalan, dan semua boleh dipetik untuk bekal makan malamnya.
Nyoman juga mulai menandai wanita-wanita berbikini yang selalu menyelipkan bunga Sepatu ataupun Kamboja di telinganya. Dan hati Nyoman akan berdesir ketika bunga itu diselipkan di telinga kanan pertanda mereka masih single. Seorang gadis Polinesia tinggi besar yang selalu menenteng papan selancar, berbikini biru dan hampir ditemui tiap hari di pantai itu melirik dan tersenyum padanya. Ia lantas menyapa gadis itu ketika istirahat setelah capai berselancar.
" Kamu pandai berselancar", puji Nyoman.
" Terima kasih. Kamu dari mana?"
" Aku pindah dari New York."
" Oooh... orang dari Mainland", kata gadis itu menyebut semua orang yang datang dari daratan Amerika berbeda ras dengan orang asli Hawaii. Dan ketika Nyoman melihat turis bule kanak-kanak menyelipkan bunga di telinga kirinya, ia jadi tertawa geli, “Kecil-kecil sudah nikah.”
+++
Untuk sekedar hidup Nyoman sering diminta membantu Ito San mengerjakan catering sushi, sushi party, atau memasok sushi To Go ke toko mini market. Bekerja dua hari atau tak terikat jadwal sangatlah nyaman bagi Nyoman karena sisa waktunya bisa digunakan untuk bermalas-malasan.
" Nyoman, malam ini ada kerjaan di hotel", kata Ito San dan Nyoman mengangguk.
Malam itu rombongan turis Jepang menyewa ruangan ballroom untuk berdansa dansi. Tak aneh Hawaii memang surga bagi orang Jepang untuk lepas dari beban pekerjaannya, tamasya bersama keluarga, berbulan madu bersama pasangannya, atau sekedar menghamburkan uangnya seperi terlihat di Downtown Honolulu, wanita- wanita Jepang yang bersliweran menenteng tas belanjaan mahal layaknya menenteng tas belanja pasar, menenteng Hermes, Chanel, dan Louis Vuitton, di kedua tangan dan lengannya seperti menenteng tas plastik berisi telur, sayur mayur, dan susu segar.
Malam itu di tengah kerjanya, Nyoman asyik memperhatikan seorang wanita sedang berdansa Salsa bersama pasangannya. Gerakan kaki wanita itu begitu lincah walau sepatunya berhak tinggi, juga pinggulnya yang bergoyang sexy seiring gerakan menangkap tangan pasangannya kemudian bertukar putaran, lalu mengalungkan tangan di leher lelaki gempal itu dan berputar kembali. Lantas mereka saling membelitkan tangan dengan rumit tanpa sekalipun menjadi kusut seolah ada trik khusus seperti gerakan pesulap Houdini melepas rantai yang membelit tubuhnya
Tanpa sadar Nyoman berdesis, " Akira San", Nyoman menggosok-gosok matanya seolah tak percaya dengan penglihatannya.
Dan ketika suatu kesempatan tiba, wanita itu datang ke meja buffet untuk mengambil sushi -- Nyoman menyapanya," Akira San?"
" Oh My God .... Nyomaaan", Akira berteriak sambil menangkupkan kedua tangan ke mulutnya. Ia masih tampak cantik dengan baju terusan putih transparan dan tak lupa syal ungu pendek melingkari lehernya.
"Kamu pandai menari Salsa Akira San", Nyoman sempat membaui wangi bunga melati di tubuh Akira dan angannya tiba-tiba diingatkan pada kenangan masa lalu yang kini malah bikin hatinya pilu. Akira selalu mengoleskan minyak wangi itu ke leher Nyoman dan setelah itu mengecupnya.
"Sedang apa kamu di Hawaii?", tanya Akira.
"Aku pindah dari New York", kata Nyoman.
"Tak sangka Tuhan mempertemukan kita lagi ", raut muka Akira setengah tak percaya.
"Sedang berlibur di sini Akira San?"
" Aku ikut rombongan klub Salsa."
" Akira san ... hmm...sudah menikah?", tanya Nyoman ketika melihat ada bunga Kamboja terselip di telinga kiri Akira.
Akira menggelengkan kepalanya, " Aku datang bersama Morimoto", sambil ia menunjuk seorang lelaki yang menurut Nyoman berbadan gempal dalam baju Hermes ketatnya, bersepatu Gucci, berambut ikal dan berkacamata mahal. Ia sedang asyik ngobrol dengan teman-temannya.
Dalam ingatannya, lelaki itu tak seelegan Al Pacino kala berdansa tanggo dalam film Scent of Woman. " Diakah pacarmu yang pernah kau katakan padaku?", dan Akira mengangguk.
Nyoman lantas teringat apa yang pernah diceritakan Akira dalam telponnya di masa lalu. " Dia seorang fotografer ", kata Akira.
Dan mata seorang fotografer ternyata sangat tajam untuk membidik Akira sebagai hal yang terindah tampak di matanya, seindah model-model bikini di pantai Lanikai, seindah bunga sakura yang bermekaran dimusim semi, atau selembut dan semanis kue moci yang berwarna warni.
" He is kind of male chauvinist for me" keluh Akira saat itu dalam percakapan telponnya.
Nyoman lantas membayangkan seorang lelaki Jepang yang menempatkan dirinya lebih superior dibandingkan perempuan. Yang ingin mengatur hidup Akira, yang mengharuskan tunduk pada aturan-aturan maskulinitasnya. Atau barangkali Akiralah yang seorang Harajuku,
Lamunannya buyar ketika Akira menegurnya, " Kalung itu masih kamu pakai Nyoman?", Akira terheran-heran. Kalung yang ia berikan dulu berbentuk matahari dan bulan yang melambangkan cahaya terang benderang, cemerlang -- sesuai arti namanya itu -- masih melekat di leher Nyoman.
" Iya"
" Nyoman tinggal di mana?"

" Tak terlalu jauh dari sini. Aku hampir tiap hari ada di pantai. Aku jadi Anak Pantai sekarang .. hehehe "
" Ooh ..Really....???  Baiklah Nyoman, emmmm... senang bisa bertemu dirimu", Akira segera kembali ke rombongan Klub Salsanya.
Dari jauh Nyoman memperhatikan mereka berdua asyik ngobrol diantara teman-teman Salsanya. Morimoto sesekali memperagakan rumitnya bermain tangan dalam Salsa, kemudian beralih memperagakan tarian Hula dengan gerakan pinggang yang lemah gemulai. Akira tertawa sambil memeluk Morimoto dengan mesra. Ada rasa perih yang lama kelamaan dirasa Nyoman persis seperti saat tangannya tersayat pisau sushi.
Pertemuan singkatnya dengan Akira mampu mengaduk-aduk perasaannya.  Berhari-hari ia merasakan kegelisahan seolah tersedot ke mesin waktu yang menghadirkan dirinya di masa lampau. Di tempat indah dan sedamai surga di Kailua ini tiba-tiba dirasakan Nyoman bagai hidup di dalam neraka. Nyoman menyetel tape kencang-kencang sambil berteriak mengikuti suara tinggi Joe Lynn Turner, “ and I ...can't let you go, even thought it's o....ver...... I know your love is growing col...der”. Aku tak bisa melepaskanmu pergi walau semua sudah berakhir........ Aku tau cintamu mulai membeku. Dan Ito San kaget -- terbangun dari tidurnya lantas berteriak kencang," Bagero!!!"
++++
Pada suatu pagi tak disangka Akira menemui Nyoman yang sedang tiduran di pantai.
"Morimoto sedang ke Big Island motret lahar gunung berapi di laut. Mau temani aku jalan-jalan Nyoman? Aku suntuk sendirian"
"Aku siang ini mau berselancar ke pantai North Shore, Akira San. Musim dingin ombaknya sedang tinggi."
"Bolehkah aku ikut?", tanya Akira.
Nyoman mengangguk. Tak lama kemudian ia mempersiapkan segala perbekalan, menaruh papan selancar di atap jeepnya, dan sepanjang perjalanan ke pantai utara Oahu itu mereka tak banyak bicara, terasa ada sekat diantara mereka. Pemandangan indah melewati pegunungan dengan tebing-tebing terjal dan hamparan pantai membiru di kejauhan seolah dirasakan mereka seperti menonton film bisu. Telinga mereka tuli, lidah mereka kelu.
+++
Suasana mulai mencair ketika tubuh mereka sudah terendam air laut. Mereka seperti dua anak kecil yang barusaja kenalan, masih malu-malu, kemudian mulai akrab dengan saling membanggakan cerita pengalaman tamasya bersama orang tuanya. Lantas salah satu mulai menawarkan es krim, kemudian mereka mulai membangun benteng-bentengan pasir di pantai, dan tak lama mereka terlihat saling berkejaran, salah satu menghindar dari timpukan pasir karena ia telah merusak benteng temannya.
Akira terheran-heran ketika mengetahui Nyoman pandai berselancar, " You never told me "
" Aku dulu kerja di persewaan papan selancar di pantai Kuta", kata Nyoman.
Akira memperhatikan, untuk seorang peselancar amatir,  Nyoman cukup nekat. Berkali-kali ia mencoba gerakan memutar (kadang salto) di atas ombak yang hampir pecah dan berkali-kali ia gagal hingga hilang ditelan ombak, terseret bersama papan selancarnya, dan muncul dengan luka berdarah di kakinya, juga lebam di dadanya.  Akira tak menyangka Nyoman suka menantang bahaya. Menguji nyalinya seolah Bodhi yang sepanjang hidupnya menanti gelombang laut Bells bercampur angin Tornado mencapai titik tertingginya, dan kemudian secara sukarela menyerahkan nyawanya untuk dilumat ganasnya ombak “Sungguh bukanlah hal yang tragis mati karena sesuatu yang kamu cintai”
Matahari hampir tenggelam, pemandangan sungguh menakjubkan, mereka berdua berjalan sepanjang pantai. Akira menggamit lengan Nyoman dengan mesra. Tiba di tempat sunyi Akira merangsek dan mencumbui Nyoman.
" Love or Lust?", tanya Nyoman seolah seorang lugu mempertanyakan sebuah batas jelas antara cinta atau nafsu.
Akira membekap mulut Nyoman mengisyaratkan tak usah banyak bertanya. Nyoman tak sadar telah menjatuhkan papan selancar dari pegangannya, lalu Akira rebah di atasnya sambil menarik Nyoman dalam rengkuhannya. Akira tak sabar mengulangi kisah cintanya dahulu, dan kini mereka seakan - akan berselancar tandem di ganasnya ombak laut Pipeline, menunggu gulungan ombak datang sambil mengayuh tangan kuat-kuat, dan secepat kilat kedua kaki mereka berdiri di atas papan selancar, kemudian meliuk-liuk di antara ombak yang menggulung setinggi 7 meter. Nyoman mendekap erat Akira dari belakang sedangkan tangan Akira bergerak gerak mencari keseimbangan melewati lorong-lorong ombak yang sewaktu-waktu menghempaskan tubuh mereka berdua.
Mereka bersorak- sorai gembira telah berhasil keluar dari gulungan ombak yang ganas itu. Mereka lalu beristirahat dengan damai.
" Masihkah kau ingat doa kita dulu saat melempar koin di kolam belakang pura?", tanya Akira.
" Aku selalu ingat, Akira San. Kenapa kamu mengingatkan hal itu?"
" Entahlah Nyoman ..... Aku merasa sangat lelah bersama Morimoto. .... Ah sudahlah Nyoman ... Lupakan pembicaraanku tadi"
" Kalau Tuhan berkenan, suatu saat kita akan menikah Akira san."
Akira menganggukkan kepala, raut mukanya tampak galau.Dikejauhan terlihat tenda-tenda mulai didirikan memenuhi pantai. Beberapa anak-anak muda asyik bergoyang reggae dari tape boom box yang dibawa dari rumah, anak-anak beserta ayahnya asyik melemparkan pancing ke laut, dan si ibu menyiapkan tungku api sambil menunggu mereka di tenda. Malam kian larut, bulan tampak bulat. Anak-anak sudah masuk tenda, muda - mudi sudah tertidur pulas di pasir pantai, sayup - sayup terdengar petikan ukulele mendendangkan melodi Blue Moon.
Mereka kemudian bercinta lagi. Seolah gelombang ombak pantai Pipeline yang sedang meninggi di bulan Februari tak akan pernah ada habisnya -- bahkan tak pernah lelah menghempaskan ombaknya ke tepian pantai.
++++
Ketika terbangun dari tidurnya Nyoman menyadari tak ada Akira di sebelahnya, ia hanya menemukan tulisan merah di papan selancarnya memakai lipstick berbunyi:
"Thank you for loving me", tertanda Akira. Aku yang selalu mencintaimu.
Nyoman tersenyum. Apa yang dialaminya bersama Akira seolah bagai mimpi di siang bolong. Baginya kini tak ada gunanya melihat masa lalunya bersama Akira kecuali masa lalu itu akan menjadi sebuah pijakan ke masa depan. Seperti berselancar, ia akan berbalik arah untuk menyambut ombak yang belum pecah, dan dengan demikian ia akan mendapatkan momen gerak ke depan. Dan kini ombak yang datang bahkan tak kuat mengangkat papan selancarnya untuk melaju.
Cinta itu masih ada – tapi berupa air laut yang tenang, tak ada ombak. Hanya diam ditempat, terapung-apung.
Sejenak Nyoman termenung. Ia tiba-tiba berdiri dan kemudian meneriakkan kata-kata dengan nada panjang," Alo----ha---- Akira San."
Mengenang masa lalu bagi Nyoman kini terasa sangat sulit, sesulit sejarawan merekonstruksi sejarah penjajahan Jepang di Indonesia. Banyak kejadian, tempat, dan orang-orang yang terlupakan, bahkan terbunuh. Dan dalam bahasa Hawaii Aloha bisa juga berarti "Good Bye". Selamat Jalan Akira San ....
Dan Nyoman segera menceburkan diri ke pantai bersama papan selancarnya ...

Senin, 23 April 2012

Bukit Mawar

ILUSTRASI

Namanya Arjuna. Laki-laki, kurus, bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya ”Mas Ar”, ada juga yang memanggilnya dengan ”Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya benar, karena Arjuna hanya tersenyum.
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam.
”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu.
”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.
Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.
Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.
Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya.
Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.
”Kenapa?” tanyaku, suatu kali.
”Apanya yang kenapa?” jawabnya sambil membuat wadah dari sabut kelapa dan pelepah pisang untuk bibit. Tangannya sangat terampil menciptakan wadah-wadah sederhana itu.
”Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau Anggrek Hitam, misalnya?”
”Sudah pernah dan ketika anthurium merajai pasaran, aku bisa beli tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja, tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter persegi di tepi jalan itu. Ada patok-patok kayu.
”Mereka mau membangun mal,” ucapnya dingin.
”Maksudmu?”
”Mereka memaksaku untuk menjual tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.”
”Hmm... kalau harganya bagus, kenapa tidak dilepas.”
”Harganya bagus. Tapi aku tidak mau melepas.”
”Kenapa?”
Dia diam, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. ”Lantas di mana aku menanam mawar-mawarku?”
Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku tak bisa tidur. Aneh, manusia satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi sedikitnya dua miliar; dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang itu dia bisa membeli tanah yang lebih luas...lebih daripada cukup kalau untuk menanam mawar kampung! Gila.
Tapi, entah mengapa, aku diserang rasa gelisah. Ada yang begitu murni, bodoh—mungkin--, dan rasa cinta yang tulus, ketika dia mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal. Sangat bodoh.
Beberapa bulan berlalu, aku tidak main ke rumahnya. Mungkin karena jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan dengan orang sinting, aku tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena aku memang ditelan kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang kadang-kadang membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya bisa bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar.
”Dua hari yang lalu, ada orang ke rumah, nyari bapak...” ujar Min sambil membongkar tasku.
Aku diam, mencoba menikmati kehampaan yang tiba-tiba menganga ini. Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu bahwa orang itu pastilah Arjuna. Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya ada bekas bopeng cacar dan Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu pasti Arjuna.
”Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, nyekingkring.” tambahnya sambil tertawa geli sendiri.
”Ada pesan apa?”
”Ndak ada...dia cuma bilang, ’o, ya, sudah’...terus pulang.”
Lama setelah itu, aku masih saja belum sempat menemui Arjuna. Aku mau telepon, tapi seingatku, dia tak pernah memberiku nomor HP. Manusia primitif satu ini memang istimewa sekali.
Sementara itu persoalanku sendiri dengan Andin—istriku—muncul lagi. Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga dan diurai dengan mudah, tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot pekerjaan. Siang dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah kami. Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB, untuk saling ...entahlah. Aku bahkan kehilangan semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal bawel—dan itu yang membuatku jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu.
Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, sudah berapa jauh jarak kehidupan cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu dimulai, kurasa dia pun tak punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya foto perkawinan yang bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak saudara, kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut dijadikan contoh.
Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya.
Siang itu di proyek, yang kurasakan adalah tusukan sepi yang luar biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku tertuju pada televisi yang menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa terpuruk menjadi manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru...;coba sebut satu saja yang mampu memberikan harapan hidup lebih baik.
Tapi, ketika seorang penyiar menyebut satu nama—sambil sedikit tersenyum, aku seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita. Ah, pastilah kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak berita, tapi tak kulihat si Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung Arjuna—di halaman Kantor Pengadilan Negeri.
Entah mengapa, berita tv siang itu menggangguku; paling tidak, telah berubah menjadi semacam isu di antara kami. Sambil makan malam bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor, percakapan tentang Arjuna menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja harus bersama Andin, yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku.
”Andin, coba kalau kamu punya tanah seluas itu dengan harga jual yang sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu bertahan?” ucap bosku sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya.
Andin hanya tersenyum saja, menjawab tanpa jawaban. Sempat kulirik senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan kusukai. Sesaat kemudian pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah kami singgahi; sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak.
”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual...” entah mengapa, aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga aneh, meloncat begitu saja dari mulutku.
Meja makan seperti tersiram es. Aku tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos.
”Mmm...bukan itu jawaban yang aku harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, ...mm...tolong, buat aku bisa memahami ’kebodohan’ yang...” dia menebar pandangan kemudian tertawa, diikuti orang semeja. Kulihat Andin salah tingkah.
”Mmm...(aku menelan ludah)...maksud saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna...”
”Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa.
”Mmm...ya, Pak. Dia sahabat sepermainan...”
”Maaf...bilang sama Arjuna, dia boleh saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama...”
Di perjalanan pulang, aku membisu. Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna.
Entah mengapa, tiba-tiba Andin membuka pembicaraan yang membuatku merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang mengapa aku tiba-tiba berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku, sampai sebuah hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama sekali tak kusadari.
”Makanya, jangan asyik sendiri. Jelas sekali, siapa pun tahu kalau kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel. Terus mau apa? Demi Arjuna dan mawarnya itu, kamu mau apa?”
Aku diam. Aku hanya ingin sampai di rumah.
Sejak peristiwa makan malam itu, aku jadi makin kehilangan kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku, tersedot pada Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku seperti duri dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima semua penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong. Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos menawariku posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk menghilangkan ’duri’ yang ada di ’daging’-nya, aku menolak dengan halus. Aku memilih duduk di samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah sederhana dari tapas kelapa dan pelepah pisang.
Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna?
Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam.
Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu.
”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?”
”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”
”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.
Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual bunga di makam ini.
”Terima kasih, kamu mau datang,” ucapnya dengan senyum mawarnya. ”mmm...ngajak mbak Andin, ya...”
Andin menyusulku? Dan kulihat Andin gembira, gelak tawanya lepas, seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun mengoceh dan mengoceh. Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri.
”Aku suka ini. Aku gembira ada yang bisa memutus rantai kebekuan. Dan aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya dengan wajahnya, yang—ah, kenapa jadi cantik sekali?
”Aku tidak melakukan apa-apa...”
”Kau keluar dari gurita raksasa, itu adalah sebuah perbuatan gila, sinting, tapi benar. Dan...aku bangga bahwa aku masih punya seseorang yang mau berbuat benar.”
”Meskipun gila?” godaku.
”Plus sinting dan nekat,” tambahnya diikuti gelak tawa.

Setelah dia jelaskan apa yang akan dilakukannya dengan bukit itu, dia pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang mawar.
Sebuah ritual pun dimulai.